SEJARAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian
Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di
bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob
Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua :
Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak
Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi
Raja tas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku
Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah..
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran
Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa
Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta
Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini
diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat
pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah
desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan
dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya
Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I
berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah
dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9
Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan
kraton yang sedang dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan
memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota
Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk
berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober
1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu
FOTO PAKAIAN ADAT, RUMAH ADAT DAN SENJATA JOGJAKARTA
SISTEM AGAMA
Secara kasat mata kita beranggapan bahwa agama tentu saja berbeda dengan budaya. Namun apabila kita pahami lebih dalam maka akan ditemukan beberapa hal yang menyebabkan keduanya sangat berhubungan. Misalnya, keduanya baik agama maupun budaya adalah sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan dalam tatanan masyarakat.
Durkheim, "agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang suci berupa kepercayaan dan prakte-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal."
Dari pengertian tersebut terkandung dua unsur penting, yakni “sifat suci” dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Dalam hal ini Durkheim telah menempatkan agama sebagai suatu alat penghubung dengan masyarakat. Dan apabila telah disinggung mengenai masyarakat, maka tentu saja ada kata budaya dibalik itu. Berikut ini adalah pengertian kebudayaan,
Koentjaraningrat (1980), "merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar." Sehingga tidak diragukan lagi bahwa agama sangat berhubungan dengan budaya.
Bagaimanakah implementasi dari hubungan antara agama dan budaya? Dapat kita lihat dikota Yogyakarta. Sebagai kota pelajar sekaligus kota budaya tentu saja banyak hal yang terekam disini. Berbagai latar belakang masyarakat berkumpul di Yogyakarta. Baik dari segi agama dan kebudayaan tentu saja sangat beragam. Dapat kita lihat beberapa tempat ibadah dari berbagai agama ada dikota ini. Baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, maupun keyakinan lainnya dapat hidup berdampingan. Dapat kita lihat pula bagaimana akulturasi agama dan budaya tercermin dari salah satu situs budayanya, yaitu di Candi Prambanan. Sebagai sebuah candi Hindu ternyata Candi Prambanan dapat berdiri bersama Candi Sewu yang merupakan candi dengan identitas Agama Budha. Hal ini semakin menekankan bahwa solidaritas antar agama dan budaya telah ada sejak zaman kerajaan berlangsung.
Pada
kenyataannya agama tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Karena agama dapat
tersampaikan pada manusia atas dasar kebudayaan. Di Yogyakarta dapat kita lihat
bagaimana budaya lokalnya sangat dipengaruhi oleh beberapa unsur agama. Upacara
sekaten misalnya, merupakan upacara untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Selain itu juga kita kenal adanya upacara labuhan yang merupakan wujud
penghormatan kepada dewa laut yang dibarengi juga dengan mitos masyarakat
sekitar laut selatan.
Dari kedua contoh tersebut jelas tergambar
bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan. Sekaten dengan ritual
keislamannya dan labuhan dengan ritual animisme dan dinamismenya. Namun yang harus
digarisbawahi dari hal tersebut adalah bahwa upacara-upacara tersebut tidak
hanya mengikutsertakan umat agama yang bersangkutan melainkan juga dilaksanakan
oleh umat lainnya. Sebab upacara tersebut telah menjadi milik masyarakat
Yogyakarta termasuk para pendatang dari luar kota yang telah bermukim di
Yogyakarta. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai salah satu kebudayaan yang
selalu dilestarikan. Disinilah letak keindahan Yogyakarta, ditengah keberagaman
yang ada ternyata tetap dapat menjaga kesatuan dan membina hubungan yang aman
dan damai.
Pada prinsipnya, agama tidak dapat merubah suatu budaya setempat. Namun agama dapat menjadi salah satu unsur dari budaya yang berlangsung. Sikap fanatik dan individualitas pada agama tertentu tidak dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang sadar akan budaya. Agama harus bisa menyesuaikan diri atas kebudayaan yang telah hadir sebelumnya, sebab agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi (Kuntowijoyo:1991). Agama harus bisa menerima perkembangan kebudayaan yang pasti akan terjadi, sebab kebudayaan tidak bersifat statis. Namun agama bisa menjadi filter akan kebudayaan yang berkembang agar tidak terlampau jauh mengikuti budaya asing yang sangat mungkin dapat merusak kebudayaan kita. Peran serta pemerintah, para tokoh agama, para ketua adat sangat berpengaruh demi terciptanya keharmonisan ditengah masyarakat yang beragam ini. Sehingga Bhineka Tunggal Ika tetap menjadi pedoman hidup kita sebagai warga negara Indonesia.
SISTEM
MATA PENCAHARIAN
karena budaya Jawa dianggap sebagai sesuatu
yang penting, berharga, dan diprioritaskan sehingga sebagian warga masyarakat
Jawa terlalu membanggakan tanpa reserve. Sikap demikian itu membuat mereka
tidak lagi kritis dan tidak lagi bisa melihat adanya nilai-nilai negatif yang
ada di dalam budaya Jawa yang mungkin tidak lagi berguna. Oleh karenanya perlu
dikemukakan beberapa langkah atau skenario dalam mengaplikasikan budaya
Jawa-Yogyakarta yang bernilai positif dalam membangun manusia sebagai sistem
sosial.
Membicarakan budaya Jawa-Yogyakarta tentu
tidak bisa lepas dari keberadaan Keraton Yogyakarta sebagai cikal bakal pusat
pemerintahan dan pusat kebudayaan yang sarat dengan nilai filosofi. Pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan dasar falasafah budaya asli Yogyakarta seperti
Hamemayu Hayuning Bawono, Golong Gilig, Sewiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh,
Hamengku, Hamangku, dan Hamengkoni di dalam aplikasinya diperlukan payung
hukum yang harus disosialisasikan sampai ke lapisan masyarakat yang paling
bawah di DIY. Perlu melakukan pemilihan dan pemilahan terhadap nilai-nilai
budaya Jawa yang masih relevan sebagai faktor pemersatu dan pendorong
pembangunan di DIY dalam segala bidang. Perlu dilakukan reinventarisasi, reinterpretasi,
revitalisasi, dan pemberian ruh baru terhadap nilai-nilai budaya Jawa yang baik
tetapi sudah tidak lagi relevan dengan zamannya.
Yogyakarta dengan keunggulan aset budayanya sebagai
factor endowments sangat potensial dikembangkan dengan melibatkan masyarakat
setempat sebagai pelaku pariwisata sehingga keuntungan yang diperoleh tidak
hanya dari sisi ekonomi namun juga keuntungan di bidang budaya.
Badai krisis ekonomi pada tahun 1997 telah mengecilkan
pencapaian prestasi pembangunan nasional pada umumnya dan penurunan angka
kemiskinan yang mencapai 40% dari total penduduk Indonesia. Biro Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin mencapai 17,2% (37,4 juta
jiwa) dari total penduduk Indonesia yang mencapai 214 juta jiwa (Feb.2003).
Hingga 2004, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 36,1 juta jiwa atau
setara dengan 16,66% dari jumlah penduduk Indonesia. Daerah padat penduduk
seperti di Jawa Tengah, Daerah Istemewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat
termasuk yang angka kemiskinannya tinggi. Karena jumlah penduduknya padat maka
secara absolut jumlah penduduk miskinnya juga tinggi. Jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada tahun 2005 ini, 62 juta jiwa dan di Jawa Tengah, 3,17 Juta
keluarga dinyatakan miskin. Jumlah penduduk miskin yang ada di Kota Semarang
pada tahun 2004 berjumlah 79 ribu jiwa.
Hingga bulan Februari 2006, menurut data Dinas
Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta, jumlah keluarga miskin (gakin) menembus
angka 31.367 Kepala Keluarga dari jumlah total 81.859 KK yang ada.
Sederhananya, 3 dari 10 orang penduduk Yogyakarta tergolong miskin. Kelurahan
Prawirodirjan, Pringgokusuman, Bener, dan Kricak termasuk daerah dengan
penduduk miskin mencapai 30 persen dari seluruh penduduknya. Persentase
penduduk miskin di 41 kelurahan lainnya umumnya kurang dari sepertiganya,
dengan porsi bervariatif. Angka ini merupakan turunan dari kriteria kemiskinan
yang tertera di Peraturan Walikota Yogyakarta No. 39/2005 tentang penetapan
parameter kemiskinan Kota Yogyakarta. Sementara itu, jumlah penerima beras
miskin (raskin) di Kota Yogyakarta ada 22.719 gakin. Jumlah gakin di kota gudeg
ini lebih kecil lagi jika merujuk data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)
tahap I yakni 13.354 gakin, yang kriterianya mengacu Badan Pusat Statistik (BPS).
Tabel penduduk miskin di Kota Yogyakarta
Tahun
|
Jumlah KK Miskin
|
Jumlah KK Kota Yogya
|
Persentase
|
2003
|
23.453
|
84.520
|
28%
|
2004
|
23.152
|
70.159
|
33%
|
2005
|
31.367
|
81.859
|
38,32%
|
Sumber: Data Dinas Kesos PM Kota Yogyakarta
Sebagian besar masyarakat miskin di kota gudeg ini
mayoritas bekerja di sektor informal. Ada pedagang kaki lima, tukang becak,
pemulung, sampai pengamen. Peta sederhana tentang persebaran warga kota yang
berprofesi pekerja sektor informal di sejumlah kampung di daerah Timoho dan
daerah di pinggiran Sungai Gajah Wong dan Sungai Code. Jika menengok ke sejarah
asal mula dan pertumbuhan kampung di Kota Yogya, banyak kampung seperti Timoho
dan pinggiran Sungai Gajah Wong muncul seiring dengan gelombang awal urbanisasi,
setidaknya sejak dekade 1970-an sampai 1980-an.
Menurut Suparlan, P. (1995), disusun beberapa indikator
diantaranya: akses dan mutu pendidikan yang rendah; kesempatan kerja dan
berusaha yang terbatas; ketersediaan perumahan dan sanitasi yang minim;
lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; terbatasnya akses
masyarakat terhadap sumber daya alam; lemahnya jaminan rasa aman; lemahnya
partisipasi; hingga besarnya beban kependudukan akibat dari besarnya tanggungan
keluarga berikut tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Dari definisi yang global ini, pemerintah Kota Yogyakarta
lalu menurunkannya dalam definisi keluarga miskin. Merujuk pada pasal 1 PP No.
42 Tahun 1981, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Peraturan Walikota Yogyakarta
No. 39/2005 memaknai keluarga miskin sebagai :
”…orang yang sama
sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan
memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai
sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak
bagi kemanusiaan.
Menurut data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta
(2006), yang bersifat penyelamatan ini misalnya raskin atau Program Beras Untuk
Keluarga Miskin. Raskin diorientasikan sebagai bantuan kesejahteraan sosial
atau bantuan perlindungan sosial bagi keluarga miskin. Raskin juga ditujukan
untuk menjaga daya tahan pangan gakin agar tetap mampu membeli beras.
Programnya berupa penjualan beras murah sebanyak 20 kg/bulan dengan harga Rp
1000/kg. Untuk DIY, melalui SK Gubernur No. 33/2003, Sultan menetapkan 10
kg/keluarga. Contoh bantuan langsung lainnya adalah BLT (Bantuan Langsung
Tunai). BLT merupakan kompensasi pemerintah kepada masyarakat miskin atas
dicabutnya subsidi BBM. Dengan BLT, diharapkan keluarga miskin tetap bisa
mempertahankan daya belinya. Dan masih banyak lagi skema bantuan dari pusat
yang sifatnya langsung.
Munculnya program seperti BLT ataupun raskin dinilai
banyak kalangan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan. Pihak kota lebih sepakat
dengan program penanggulangan kemiskinan yang sifatnya memberdayakan ekonomi
masyarakat. Fokusnya bukan perseorangan seperti BLT, melainkan kelompok
masyarakat. Selain menjalankan program yang berasal dari pusat, baik yang
didanai dari APBN maupun bank Dunia, Pemkot juga tengah melaksanakan program
yang murni diinisiasi sendiri.
Dipaparkan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta
(2006), beberapa program yang kini dijalankan antara lain: Program Bantuan
Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi
(PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang (DBUKID);
Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan Pekarangan
(BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif (P2USEP);
Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja Mandiri (TKM);
Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat Karya Program Awal
Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak
(PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit
Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang Kaki Lima.
Merujuk Peraturan Walikota Yogyakarta No. 10/2005 tentang
Penjabaran APBD tahun anggaran 2005, program yang bernuansa penanggulangan
kemiskinan di Kota Yogyakarta tersebar di berbagai instansi. Di dinas
Perekonomian, ada bantuan keuangan kepada PKL sebesar Rp 750.000.000. Di Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi ada pelatihan keterampilan tenaga kerja. Dan
Dinas Kesejahteraan Sosial memiliki bantuan keuangan kepada penyandang
rehabilitasi dan masalah sosial yang mencakup bantuan pembinaan USEP KM sebesar
Rp 14.500.000, bantuan pengembangan USEP KM sebesar 13.200.000.
Meski terfokus pada program yang sifatnya memberdayakan
ekonomi, kota tetap menjalankan program-program yang sifatnya “penyelamatan”.
Ada bantuan beasiswa sekolah, subsidi pelayanan kesehatan, atau yang paling
nyata berupa santunan dan perlindungan terhadap warga kota yang terlantar
seperti anak jalanan, gelandangan dan pengemis, serta manula. Peraturan
Walikota No. 10/2005 juga menggagarkan untuk Dinas Kesehatan berupa bantuan
premi gakin sebesar Rp 1. 229.700.000. Lalu untuk Dinas Pendidikan dan
Pengajaran berupa pengembangan SDM yang mencakup beasiswa, bantuan tugas
belajar, ikatan dinas sebesar 97.000.000, biaya bantuan pelatihan dan kursus
keterampilan sebesar Rp 45.000.000. Bantuan pembinaan rentan anak jalanan dan
anak jalanan sebesar Rp 108.300.000 dan bantuan untuk fasilitasi dan
rehabilitasi sosial sebesar Rp 15.000.000.
Yang ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme
hanya bersifat sementara, di mana negara hanya boleh turun tangan jika lembaga
keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan
seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah
individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan
yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di
mana sesorang itu hidup. Menurut Adams Charles, (1993), seseorang bisa lepas
dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang
bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang
bersifat “penyesuaian”(adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin
agar mampu bersaing di pasar bebas. Program-programstructural adjustment yang
didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal
Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan
(PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan (Dinas
Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta; 2006).
SISTEM
KEKERABATAN
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Sedangkan sistem istilah kekerabatannya menunjukkan istilah klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki serta kakak wanita ayah dan ibu beserta isteri-isteri maupun suami-suami masing-masing diklasifikasikan menjadi satu dengan satu istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah maupun ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin, yaitu paman dan bibi.
Dengan prinsip bilateral atau parental ini maka ego mengenal hubungannya dengan sanak saudara dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, dari satu nenek moyang sampai generasi ketiga, yang disebut sanak saudulur (kindred). Khusus di daerah Yogyakarta bentuk kerabat disebut alur waris, yang terdiri dari enam sampai tujuh generasi
1. Kelompok-kelompok kekerabatan
Untuk daerah Yogyakarta, kelompok terkecil dalam kelompok kekerabatan sama seperti daerah Jawa pada umumnya, yaitu kelurga batih ( nuclear family ). Kesatuan kekerabatan ini pada ummunya disebut dengan istilah kulowarga yang anggotanya terdiri dari ayah (suami), ibu (istri), dan anak-anaknya. Adapun seoprang kepala kulowarga disebut dengan istilah kepala somah.
Di samping keluarga batih yang disebut kulowarga itu, di daerah istimewa Yogyakarta juga di jumpai bentuk kelompok kekerabatan yang disebut sanak sedulur. Bentuk kekrabatan ini dalam ilmu antropologi disebut dengan kindred. Kindred ini merupakan satu-kesatuan kaum kerabat yang terdiri dari saudara sekandung, saudara sepupu, dari pihak ayah maupun ibu, paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun pihak ibu, serta saudara-saudara dari pihak istri.
Untuk daerah Yogyakarta, kelompok terkecil dalam kelompok kekerabatan sama seperti daerah Jawa pada umumnya, yaitu kelurga batih ( nuclear family ). Kesatuan kekerabatan ini pada ummunya disebut dengan istilah kulowarga yang anggotanya terdiri dari ayah (suami), ibu (istri), dan anak-anaknya. Adapun seoprang kepala kulowarga disebut dengan istilah kepala somah.
Di samping keluarga batih yang disebut kulowarga itu, di daerah istimewa Yogyakarta juga di jumpai bentuk kelompok kekerabatan yang disebut sanak sedulur. Bentuk kekrabatan ini dalam ilmu antropologi disebut dengan kindred. Kindred ini merupakan satu-kesatuan kaum kerabat yang terdiri dari saudara sekandung, saudara sepupu, dari pihak ayah maupun ibu, paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun pihak ibu, serta saudara-saudara dari pihak istri.
Masyarakata Yogyakarta, terutama dari golongan bangsawan juga mengenal adanya kelompok kekerabatan yang disebut alur waris. Alur waris ini terdiri dari enam sampai tujuh keturunan. Fungsi dari alur waris ini yaitu memelihara makam leluhur. Mereka selalu berusaha, agar hubunngan mereka dengan leluhurnya selalu ada. Hal ini memiliki tujuan untuk meminta perlindungan atau pertolongan di kala mereka memperoleh kesulitan dalam hidupnya, atau pada waktu melakukan upacara inisiasi atau krisisritus.
2. Prinsip- prinsip keturunan
Prinsip keturunan yang terdapat di Jawa adalah prinsip bilateral, dalam hal ini prinsip yang konsentris. Hal ini dapat dijumpai pada lapisan bangsawan atau priyayi. Golongan ini biasanya mempunyai gelar yang di tuliskan didepan namanya, seperti misalnya: Bendara Raden Mas, Raden Mas, Raden dan lain sebagainya.
Di samping itu, dalam prinsip keturunan ini, masyarakat Jawa dalam hal tertentu mengenal adanya sistem pratrilineal, misalnya saja adalam peristiwa perkawinan, di mana menurut adat untuk syahnya seorang perempuan menjadi istri seorang laki-laki harus di tunjuk wali yang biasannya dilakukan oleh ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal, maka sebagai penggantinya harus salah seorang anak laki-lakinya yang tertua, bila tidak ada, boleh dilakukan oleh saudara laki-laki ayahnya. Dalam peristiwa semacamm ini , mereka yang mewakili ayah itu di sebut pancer wali.
3. Sistem Istilah-Istilah Kekerabatan
istilah kekerabatan pada masyarakat jawa diklasifikasikan bedasarkan generasi (keturunan), seperti pada umumnya orang jawa mengenal10 generasi ke atas dan 10 generasi kebawah yaitu sebagai berikut :
Generasi Keatas : 1. Wong tuwa Generasi Kebawah : 1.
Anak / putra
2. Embah 2. putu / wayah
3. Buyut 3. buyut
4. Canggah 4. canggah
5. Wareng 5. wareng
6. Udeg-udeg 6. Udeg-udeg
7. gantung siwur 7. gantung siwur
8. Gropak sente 8. Gropak sente
9. Depok bosok 9. Depok bosok
10. galih asem 10. galih asem
2. Embah 2. putu / wayah
3. Buyut 3. buyut
4. Canggah 4. canggah
5. Wareng 5. wareng
6. Udeg-udeg 6. Udeg-udeg
7. gantung siwur 7. gantung siwur
8. Gropak sente 8. Gropak sente
9. Depok bosok 9. Depok bosok
10. galih asem 10. galih asem
4. Daur Hidup ( Life Cycle )
Yang dimaksud dengan daur hidup adalah peristiwa-peristiwa di sekitar individu. Pada masyarakat Yogyakarta, mengenal upacara-upacara peralihan.
a. adat dan upacara kelahiran
kelahiran merupakan salah stu rangkaian yang amat penting didalam peristiwa hidup setiap manusia, terutama bagi kaum wanita, dengan adanya gangguan gaib, dan beberapa pantangan yang di sertai upacara-upacara untuk menolaknya, semuannya merupakan masa-masa yang harus di lalui sampai saat kelahiran.
Adapun upacara-upacara dan selamatan menjelang saat kelahiran
ialah
1) Upacara Ngelimani
upacara ini adalah upacara yang di adakan untuk wanita hamil lima bulan. Upacara ini di sertai dengan beberapa sajian yang diperlukan sejak kandungan berumur satu bulan sampai lima bulan. Sehingga merupakan selamatan yang sesajinya merupakan sesaji sejak kandungan satu sampai lima bulan.
2) Upacara Tingkeban
upacara ini di lakasanakan pada kandungan Ibu berusia tujuh bulan, dan di lakukan pada waktu hamil pertama. Upacara ini di anggap sangatlah penting bagi masyarakat Yogyakarta, terutama yang berada di keraton Yogya dan sekitarnya. Masyarakat Jawa menganggap upacara ini wajib di lakukan, agar keselamatan Ibu dan bayi lebih terjamin, dan orang yang melahirkan tanpa melakukan upacara ini di namakan ngabokake anak (menyamakan anak dengan Kerbau)
3) Upacara keselamatan dan kelahiran
Pada zaman saat terjadi sekit, maka akan minta tolong kepada seorang dukun, termasuk pada wanita hamil. Tentu peranan dukun pada zaman itu sangatlah vital, sampai zaman sekarangpun masih ada sebagian masyarakat menggunakan jasa dukun.
b. Upacara setelah kelahiran
Setelah lahirnya bayi, diadakanlah selamatan yang di namakan Brakohan, sarat-saratnya seperti menyediakan dhawet, gula, kelapa, telur, jajan pasar, berbagai macam jenang, dan bunga barut.
orang Jawa pada umumnya beranggapan bahwa kelahiran ini mempunyai arti penting bagi nasib bayi. Oleh karena itu di kenal istilah julung wangi (julung kembang) di berikan pada bayi yang lajir bertepatan pada waktu matahari terbit, menurut anggapan orang bayi ini akan selamat hidupnya. dan julung caplok di berikan pada saat bayi lahir bertepatan pada waktu matahari terbenam (mati di makan kecelakaan dan sebagainya), maka untuk menghindarinya pada suatu malam bayi itu oleh otang tuanya diletakkan di atas tampi di luar rumah, setelah itu salah seorang dari keluarganya seolah-olah menemukan bayi tersebut dan menyrahkan kepada orang tuanya.
Berikut ini upacara setelah kelahiran:
1) Sepasaran/puputan
Puputan ini adalah selamatan bayi pada saat berusia 5 hari dan di laksanakan pada malam hari. Pada malam itu bayi yang di selamati tidak di tidurkan, melainkan di bawa ke ruang tanu untuk di pangku oleh para tamu secara bergantian. Sebab menurut kepercayaan orang, seorang bayi yang abru saja di puput menjadi incaran roh jahat (sarap sawan) karena itu bayi harus di jaga secara bergantian. Adapun caranya, bayi itu di letakkan di atas gandhik yang di gambari dengan kapur. Gambar tersebut menyerupai gambar seorang bayi. Dengan demikian roh yang akan mengganggu tersebuta akan tertipu.
2) Tedhek siten
Apabaila usia anak telah mencapai 7 bulan. Menurut artinya tedhek siten berasal dari kata tedhak dan siti. Tedhak artinya turun, sedangkan siti arinya tanah. Maksudnya adalah upacara turun tanah untuk pertama kalinya bagi si anak yang telah berumur 7 bulan. Upacara ini di adakan kerena adenya anggapan bahwa tanah mempunyai kekuatan gaib, di semping itu tanah di jaga oleh Bathara Kala. Oleh karena itu si anak di perkenalkan oleh si penjaga tanah melalui upacara yang di sebut tedhak site.
Adapun ketetapan hari untuk melaksanakan upacara tedha siten ini, biasanya di sesuaikan dengan hari lahir si anak.Orang Jawa pada umumnya, khususnya orang Yogyakanta memendang upacara ini sangat vital. Oleh karena itu banyak orang-orang melakukan acara ini secara besar-besaran bahkan di sertai dengan pertunjukan wayang kulit.
3) Nyetaun
Setelah anak berumur satu tahun diadakan lagi selamatan untuknya yang di sebut nyetaun. Adapun ujud daripada selamatan nyetaun ini adalah nasi tumpeng dengan lauknya yang berupa gudhanngan dan telur yang direbus. Disamping itu dibuatkan jenang gaul untuk menyelamati gigi yang telah tumbuh, walaupun sebenarnya gigi itu telah tumbuh pada waktu si anak berumur kurang dari satu tahun. Maka upacara ini disebut upacara gaulan.
4) Panggangan
Upacara ini khususnya hanya diadakan bagi keluarga yang ada di lingkungan kraton, sedangkan masyarakat biasa pada umumnya jarang untuk melakukannya. Upacara panggangan diadakan ketika si anak mulai dapat berjalan. Jalannya upacara ini anak yang baru saja mulai dapat berjalan itu disuruhnya berjalan dengan tingkat bambu kecil yang pada ujungnya ditusukkan ikan ayam panggang kecil. Tongkat ini juga diberi seutas tali untuk mengangkat pisang. Ketika anak itu berjalan, maka ayam (ikan ayam) dan pidang itu diperebutkan di antara para hadirin yang menyaksikannya.
5) Nyapih.
Nyapih adalah berasal dari kata sapih (bahasa jawa) yang artinya pisah, memisahkan. Degan demikian yang dimaksud dengan istilah nyapih disini adalah upacara yang bertujuan untuk menylamati anak, pada saat si anak itu tidak lagi nenyusu ibunya. Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata ada beberapa perbedaan antara penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dan penduduk yang tinggal di pesesaan dalam hal melaksanakan upacara nyapih ini. Untuk penduduk tinggal di daerah perkotaan, khususnya mereka yang tinggal di sekitar Paku Alaman Yogyakarta, adalah sebagai berikut: anak perempuan mulai disapih setelah berumur 1 tahun, sedang anak laki-laki pada waktu berumur 10 bulan. Untuk nyapih anak ini, diadakan atau dibuatkan eberaoa sajian yang berupa ketupat yang dibelah dan diberi daging abon, katul yang dibentuk bulat kecil-kecil lalu dimasak (dikukus), kembang boreh, tumpeng kecil sebanyak 7 buah, daun jati yuang dikutubkan, pelita yang semuanya itu diletakkan di bawah temapt tidur. Demikian juga minyak kelapa yang dalam sebuah pinggan yang berisi air, telur ayam mentah dan daun pisang yang disobek-sobek. Pada saat ini dukun membacakan sebuah rapal yang isinya: ora mbudeli godhong, mbudeli cangkeme si bayi” (maksudnya agar bayi yang disapiah itu tidak menangis).
c. Adat dan upacara menjelang dewasa.
Adat dan upacara menjelang dewasa bagi masyarakat Yogyakarta adalah sunatan (anak-laki-laki) dan tetesan untuk anak perempuan.
1) Upacara Ngelimani
upacara ini adalah upacara yang di adakan untuk wanita hamil lima bulan. Upacara ini di sertai dengan beberapa sajian yang diperlukan sejak kandungan berumur satu bulan sampai lima bulan. Sehingga merupakan selamatan yang sesajinya merupakan sesaji sejak kandungan satu sampai lima bulan.
2) Upacara Tingkeban
upacara ini di lakasanakan pada kandungan Ibu berusia tujuh bulan, dan di lakukan pada waktu hamil pertama. Upacara ini di anggap sangatlah penting bagi masyarakat Yogyakarta, terutama yang berada di keraton Yogya dan sekitarnya. Masyarakat Jawa menganggap upacara ini wajib di lakukan, agar keselamatan Ibu dan bayi lebih terjamin, dan orang yang melahirkan tanpa melakukan upacara ini di namakan ngabokake anak (menyamakan anak dengan Kerbau)
3) Upacara keselamatan dan kelahiran
Pada zaman saat terjadi sekit, maka akan minta tolong kepada seorang dukun, termasuk pada wanita hamil. Tentu peranan dukun pada zaman itu sangatlah vital, sampai zaman sekarangpun masih ada sebagian masyarakat menggunakan jasa dukun.
b. Upacara setelah kelahiran
Setelah lahirnya bayi, diadakanlah selamatan yang di namakan Brakohan, sarat-saratnya seperti menyediakan dhawet, gula, kelapa, telur, jajan pasar, berbagai macam jenang, dan bunga barut.
orang Jawa pada umumnya beranggapan bahwa kelahiran ini mempunyai arti penting bagi nasib bayi. Oleh karena itu di kenal istilah julung wangi (julung kembang) di berikan pada bayi yang lajir bertepatan pada waktu matahari terbit, menurut anggapan orang bayi ini akan selamat hidupnya. dan julung caplok di berikan pada saat bayi lahir bertepatan pada waktu matahari terbenam (mati di makan kecelakaan dan sebagainya), maka untuk menghindarinya pada suatu malam bayi itu oleh otang tuanya diletakkan di atas tampi di luar rumah, setelah itu salah seorang dari keluarganya seolah-olah menemukan bayi tersebut dan menyrahkan kepada orang tuanya.
Berikut ini upacara setelah kelahiran:
1) Sepasaran/puputan
Puputan ini adalah selamatan bayi pada saat berusia 5 hari dan di laksanakan pada malam hari. Pada malam itu bayi yang di selamati tidak di tidurkan, melainkan di bawa ke ruang tanu untuk di pangku oleh para tamu secara bergantian. Sebab menurut kepercayaan orang, seorang bayi yang abru saja di puput menjadi incaran roh jahat (sarap sawan) karena itu bayi harus di jaga secara bergantian. Adapun caranya, bayi itu di letakkan di atas gandhik yang di gambari dengan kapur. Gambar tersebut menyerupai gambar seorang bayi. Dengan demikian roh yang akan mengganggu tersebuta akan tertipu.
2) Tedhek siten
Apabaila usia anak telah mencapai 7 bulan. Menurut artinya tedhek siten berasal dari kata tedhak dan siti. Tedhak artinya turun, sedangkan siti arinya tanah. Maksudnya adalah upacara turun tanah untuk pertama kalinya bagi si anak yang telah berumur 7 bulan. Upacara ini di adakan kerena adenya anggapan bahwa tanah mempunyai kekuatan gaib, di semping itu tanah di jaga oleh Bathara Kala. Oleh karena itu si anak di perkenalkan oleh si penjaga tanah melalui upacara yang di sebut tedhak site.
Adapun ketetapan hari untuk melaksanakan upacara tedha siten ini, biasanya di sesuaikan dengan hari lahir si anak.Orang Jawa pada umumnya, khususnya orang Yogyakanta memendang upacara ini sangat vital. Oleh karena itu banyak orang-orang melakukan acara ini secara besar-besaran bahkan di sertai dengan pertunjukan wayang kulit.
3) Nyetaun
Setelah anak berumur satu tahun diadakan lagi selamatan untuknya yang di sebut nyetaun. Adapun ujud daripada selamatan nyetaun ini adalah nasi tumpeng dengan lauknya yang berupa gudhanngan dan telur yang direbus. Disamping itu dibuatkan jenang gaul untuk menyelamati gigi yang telah tumbuh, walaupun sebenarnya gigi itu telah tumbuh pada waktu si anak berumur kurang dari satu tahun. Maka upacara ini disebut upacara gaulan.
4) Panggangan
Upacara ini khususnya hanya diadakan bagi keluarga yang ada di lingkungan kraton, sedangkan masyarakat biasa pada umumnya jarang untuk melakukannya. Upacara panggangan diadakan ketika si anak mulai dapat berjalan. Jalannya upacara ini anak yang baru saja mulai dapat berjalan itu disuruhnya berjalan dengan tingkat bambu kecil yang pada ujungnya ditusukkan ikan ayam panggang kecil. Tongkat ini juga diberi seutas tali untuk mengangkat pisang. Ketika anak itu berjalan, maka ayam (ikan ayam) dan pidang itu diperebutkan di antara para hadirin yang menyaksikannya.
5) Nyapih.
Nyapih adalah berasal dari kata sapih (bahasa jawa) yang artinya pisah, memisahkan. Degan demikian yang dimaksud dengan istilah nyapih disini adalah upacara yang bertujuan untuk menylamati anak, pada saat si anak itu tidak lagi nenyusu ibunya. Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata ada beberapa perbedaan antara penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dan penduduk yang tinggal di pesesaan dalam hal melaksanakan upacara nyapih ini. Untuk penduduk tinggal di daerah perkotaan, khususnya mereka yang tinggal di sekitar Paku Alaman Yogyakarta, adalah sebagai berikut: anak perempuan mulai disapih setelah berumur 1 tahun, sedang anak laki-laki pada waktu berumur 10 bulan. Untuk nyapih anak ini, diadakan atau dibuatkan eberaoa sajian yang berupa ketupat yang dibelah dan diberi daging abon, katul yang dibentuk bulat kecil-kecil lalu dimasak (dikukus), kembang boreh, tumpeng kecil sebanyak 7 buah, daun jati yuang dikutubkan, pelita yang semuanya itu diletakkan di bawah temapt tidur. Demikian juga minyak kelapa yang dalam sebuah pinggan yang berisi air, telur ayam mentah dan daun pisang yang disobek-sobek. Pada saat ini dukun membacakan sebuah rapal yang isinya: ora mbudeli godhong, mbudeli cangkeme si bayi” (maksudnya agar bayi yang disapiah itu tidak menangis).
c. Adat dan upacara menjelang dewasa.
Adat dan upacara menjelang dewasa bagi masyarakat Yogyakarta adalah sunatan (anak-laki-laki) dan tetesan untuk anak perempuan.
1) Nyunat/ tetak
Upacara sunat merupakan upacar saat peralihan seseorang dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada umumnya upacar ini diadakan setelah anak laki-laki itu berumut sekitar 12 tahun. Seperti halnya seorang Tjelapar, orang jawa pada umumnya (termesuk penduduk Yogyakarta) yang masih tebal mempunyai kepercayaan terhadap naluri leluhurnya. Mereka itu menganggap bahwa sunat adalah suatu upacar yang harus dilakukan, sebab upacara ini merupakan inisiasi, yaitu berpindahnya status seseorang dari satu tingkat ke tingkat lain. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam proses inisiasi ini penuh adanya gangguan gaib yang harus disingkiri. Akan tetapi bagi seseorang penganut islam, sunat adalah pertanda bahwa seorang anak itu telah masuk sebagai islam. Oleh sebab itu upacara ini sisebut juga ngeslamake. Adapun orang yang bertugas menyunat adalah bong supit, seorang laki-laki yang pekerjaannya menyunat.
2) Upacara tetesan
Upacara tetesan ini pada dasarnya sama dengan upacar sunat (tetakan)/. Upacara ini diadakan apabila anak perempuan telah mencapai umur sekitar 8 tahun. Sama seperti upacara sunatan, upacara tetesan menunjukkan upacara inisiasi atau krisis ritus yaitu salah satu rangkaian daripada upacara sekitar hidup individu.
Pada masyarakat jawa dan khususnya daerah Yogyakarta, upacara tetesaan ini dapat diadakan bersama dengan upacara perkawinan atau tetakan. Apabila hal demikian terjadi, maka untuk saat tetesan ini harus didahulukan sebelum saat perkawinan. Akan tetapi adakalanya upacara tetesan ini diadakan tersendiri secara besar-besaran seperti halnya kalau orang melakukan upacara perkawinan.
d. Adat Perkawinan
Perkawinan merupakan sumbu tempat berputarnya seluruh hidup masyarakat, dan merupakan saat peralihan dari masa remaja ke masa berkeluarga. Oleh sebab itu perkawinan ini adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam hidup setiap manusia di kalangan masyarakat Jawa dan khususnya Yogyakarta. Biasanya upaya perkawinan uni merupakan upacara yang terbesar dan paling meriah dibandingkan dengan upacara inisiasi yang lain. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan berbagai unsur adat jawa saling bertemu, diantaranya unsur religi. Perkawinan ini merupakan fase penting pada proses pengintegrasian manusia si dalam tata alam yang sacral. Dikatakan orang, bahwa perkawinan adalah menutupi taraf hidup lama dan membuka taraf hidup yang baru. Proses ini tidak saja dialami oleh perorangan saja melainkan juga kadang-kadang menjadi tanggungjawab bersama bagi seluruh masyarakat.
Upacara sunat merupakan upacar saat peralihan seseorang dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada umumnya upacar ini diadakan setelah anak laki-laki itu berumut sekitar 12 tahun. Seperti halnya seorang Tjelapar, orang jawa pada umumnya (termesuk penduduk Yogyakarta) yang masih tebal mempunyai kepercayaan terhadap naluri leluhurnya. Mereka itu menganggap bahwa sunat adalah suatu upacar yang harus dilakukan, sebab upacara ini merupakan inisiasi, yaitu berpindahnya status seseorang dari satu tingkat ke tingkat lain. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam proses inisiasi ini penuh adanya gangguan gaib yang harus disingkiri. Akan tetapi bagi seseorang penganut islam, sunat adalah pertanda bahwa seorang anak itu telah masuk sebagai islam. Oleh sebab itu upacara ini sisebut juga ngeslamake. Adapun orang yang bertugas menyunat adalah bong supit, seorang laki-laki yang pekerjaannya menyunat.
2) Upacara tetesan
Upacara tetesan ini pada dasarnya sama dengan upacar sunat (tetakan)/. Upacara ini diadakan apabila anak perempuan telah mencapai umur sekitar 8 tahun. Sama seperti upacara sunatan, upacara tetesan menunjukkan upacara inisiasi atau krisis ritus yaitu salah satu rangkaian daripada upacara sekitar hidup individu.
Pada masyarakat jawa dan khususnya daerah Yogyakarta, upacara tetesaan ini dapat diadakan bersama dengan upacara perkawinan atau tetakan. Apabila hal demikian terjadi, maka untuk saat tetesan ini harus didahulukan sebelum saat perkawinan. Akan tetapi adakalanya upacara tetesan ini diadakan tersendiri secara besar-besaran seperti halnya kalau orang melakukan upacara perkawinan.
d. Adat Perkawinan
Perkawinan merupakan sumbu tempat berputarnya seluruh hidup masyarakat, dan merupakan saat peralihan dari masa remaja ke masa berkeluarga. Oleh sebab itu perkawinan ini adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam hidup setiap manusia di kalangan masyarakat Jawa dan khususnya Yogyakarta. Biasanya upaya perkawinan uni merupakan upacara yang terbesar dan paling meriah dibandingkan dengan upacara inisiasi yang lain. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan berbagai unsur adat jawa saling bertemu, diantaranya unsur religi. Perkawinan ini merupakan fase penting pada proses pengintegrasian manusia si dalam tata alam yang sacral. Dikatakan orang, bahwa perkawinan adalah menutupi taraf hidup lama dan membuka taraf hidup yang baru. Proses ini tidak saja dialami oleh perorangan saja melainkan juga kadang-kadang menjadi tanggungjawab bersama bagi seluruh masyarakat.
Dalam adat masyarakat Jawa dikenal adanya ngarang wulu serta
wayuh. Perkawinan ngarang wulu adalah suatu perkawinan seorang duda dengan
seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya. Jadi merupakan
pernikahan sororat. Adapun wayuh adalah suatu perkawinan lebih dari satu istri
(poligami).
Masyarakat Jawa mengenal beberapa sistem pernikahan, yaitu :
a. Pelamaran biasa
b. Magang atau ngenger, ialah seorang jejaka yang telah mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis.
c. Triman, yaitu seorang yang mendapat istri sebagai pemberian atau penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga keraton atau keluarga kyai agung.
d. Ngunggah-ngunggahi, yaitu pihak kerabat si gadis yang melamar si jejaka.
e. Paksa (peksan), yaitu suatu perkawinan seorang pria dan wanita atas kemauan kedua orang tua mereka.
Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling kawin apabila mereka itu saudara sekandung; apabila mereka itu adalah pancer lanang yaitu anak dari dua saudara sekandung laki-laki; apabila mereka itu adalah misan dan akhirnya pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya daripada pihak wanita. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut diatas diperkenankan.
Selain masalah perkawinan, dalam adat Jawa juga diatur mengenai masalah perceraian (pegatan). Dalam hal ini, perceraian hanya bisa dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, istri tidak dalam keadaan hamil dan di hadapan pengulu. Suami dapat menceraikan istrinya dengan menjatuhkan talak. Sedangkan sebaliknya istri pun berhak meminta cerai, yaitu dengan memberikan taklik. Apabila seorang istri meminta cerai sedangkan suaminya tidak bersedia maka istri mengadu kepada kaum yang akan meneruskan pengaduan ke Kantor Urusan Agama Kecamatan. Akhirnya, Kantor Urusan Agama Kabupaten yang akan memberi keputusan.Pengaduan gugatan perceraian bertingkat-tingkat tersebut dinamakan rapak.
Apabila setelah bercerai, suami istri ingin rukun kembali sebelum melebihi jangka waktu seratus hari maka disebut rujuk, sedangkan apabila hal itu dijalankan melebihi batas waktu tersebut dinamakan balen. Baik rujuk maupun balen hanya bisa dilaksanakan sesudah talak sampai tiga kali, karena apabila sudah mencapai talak sebanyak tiga kali maka suami istri tersebut harus bercerai selamanya. Dalam hubingan ini sorang janda dapat bergaul dengan seorang laki-laki lain setelah lewat masa iddahnya, yang lamanya tiga bulan sepuluh hari atau tiga kali lingkaran haid.
Masyarakat Jawa mengenal beberapa sistem pernikahan, yaitu :
a. Pelamaran biasa
b. Magang atau ngenger, ialah seorang jejaka yang telah mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis.
c. Triman, yaitu seorang yang mendapat istri sebagai pemberian atau penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga keraton atau keluarga kyai agung.
d. Ngunggah-ngunggahi, yaitu pihak kerabat si gadis yang melamar si jejaka.
e. Paksa (peksan), yaitu suatu perkawinan seorang pria dan wanita atas kemauan kedua orang tua mereka.
Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling kawin apabila mereka itu saudara sekandung; apabila mereka itu adalah pancer lanang yaitu anak dari dua saudara sekandung laki-laki; apabila mereka itu adalah misan dan akhirnya pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya daripada pihak wanita. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut diatas diperkenankan.
Selain masalah perkawinan, dalam adat Jawa juga diatur mengenai masalah perceraian (pegatan). Dalam hal ini, perceraian hanya bisa dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, istri tidak dalam keadaan hamil dan di hadapan pengulu. Suami dapat menceraikan istrinya dengan menjatuhkan talak. Sedangkan sebaliknya istri pun berhak meminta cerai, yaitu dengan memberikan taklik. Apabila seorang istri meminta cerai sedangkan suaminya tidak bersedia maka istri mengadu kepada kaum yang akan meneruskan pengaduan ke Kantor Urusan Agama Kecamatan. Akhirnya, Kantor Urusan Agama Kabupaten yang akan memberi keputusan.Pengaduan gugatan perceraian bertingkat-tingkat tersebut dinamakan rapak.
Apabila setelah bercerai, suami istri ingin rukun kembali sebelum melebihi jangka waktu seratus hari maka disebut rujuk, sedangkan apabila hal itu dijalankan melebihi batas waktu tersebut dinamakan balen. Baik rujuk maupun balen hanya bisa dilaksanakan sesudah talak sampai tiga kali, karena apabila sudah mencapai talak sebanyak tiga kali maka suami istri tersebut harus bercerai selamanya. Dalam hubingan ini sorang janda dapat bergaul dengan seorang laki-laki lain setelah lewat masa iddahnya, yang lamanya tiga bulan sepuluh hari atau tiga kali lingkaran haid.
e. Adat Upacara Kematian
Di dalam peristiwa-peristiwa sekitar hidup individu, kematian merupakan tingkatan hidup yang terakhir pada setiap manusia. Kematian merupakan tingkatan hidup yang dianggap penting oleh kebanyakan orang, karena merupakan perpindahan yang dialami oleh manusia yaitu dari alam dunia ke alam gaib
Aktivitas yang berhubungan dengan peristiwa kematian ini, datangnya para tetangga untuk menyampaikan rasa bela sungkawa disebut “layat”, sedangkan untuk menyebutkan untuk adanya peristiwa kematian yang dialami oleh suatu keluarga disebut kesripahan atau sripah.
Upacara dan selamatan yang diadakan yang berhubungan dengan kematian antara lain :
1) Upacara dan selamatan Surtanah
Diadakan pada saat jenazah akan dikebumikan. Tujuannya agar roh mendiang mendapat tempat yang layak dan jalan yang terang serta diterima di sisi Tuhan. Makana atau sesaji yang ada pada upacara ini adalah tumpeng, jangan adhem, yaitu sayuran yand tidak pedas rasanya, daging ayam, dan sambal kacang.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam upacara ini dan yang memiliki makna penting adalah tumpeng yang dibelah menjadi dua yang di letakkan secara bertolak belakang ( ungkur-ungkuran, jawa ) yang disebut tumpeng Pungkur melambangkan perpisahan antara orang yang telah meninggal dan keluarga yang ditinggalkan, serta mengandung harapan agar roh mendiang mendapatkan ketentraman di Alam Baka, demikian yang ditinggalkan agar selalu mendapat kebahagiaan.
2) Upacara dan selamatan Nelung Dina
Diadakan pada hari ke tiga sesaat sesudah meninggal. Sajian makanan berupa nasi punar, nasi putih lengkap dengan lauk pauknya yang di letakkan di tangkir pontang ( mangkok dari daun pisang yand dihiasi dengan janur ), ada juga nasi asahan dengan lauk pauknya. Tujuan selamatan ini adalah mengharapka agar roh mendiang memperoleh jalan yang terang dan diterima di Sisi Tuhan dan agar keluarga yang ditinggalkan mendapatkan ketentraman serta kedamaian lahir dan bathin.
3) Upacara dan Selamatan Mitung Dina
Diadakan pada hari ke tujuh setelah meninggalnya mendiang. Sesajian yang dihidangkan ketan, kolak, dan apem yang di letakkan di dalam Takir yaitu sejenis mangkuk berbentuk limas yang dibuat dari daun pisang. Maksud dari selamatan ini adalah sama dengan upacara nelung Dina. Selama waktu tujuh hari sejak mendiang wafat, di dalam kamarnya disediakan makanan dan minuman kesukaan mendiang dikala ia masih hidup. Ini berkenaan dengan adanya anggapan jika slama tiujuh hari roh mendiang masih berada di sekitar rumah keluarganya.
4) Upacara dan Selamatan Matang Puluh Dina
Diadakan pada hari yang ke empat puluh sejak meninggalnya mendiang. Sesajian yang ada sama seperti upacara mitung dina, namun ditambah dengan sajian untuk salamatan kataman yaitu pembacaan Al Qur’an yang terdiri dari nasi wuduk, inkung ayam, dengan lauk pauknya. Maksud dan tujuan dari selamatan ini adalah agar roh mendiang memperoleh tempat di Sisi Tuhan sesuai dengan amal dan perbuatanya.
5) Upacara dan Selamatan Nyatus Dina
Diadakan pada hari ke seratus sejak meninggalnya mendiang. Selamatan ini hamper sama dengan selamatan Matang Puluh Dina, dan selamatan yang disebut Mendhak Pisan yaitu selamatan yang diadakan 1 tahun setelah mendiang wafat.
6) Upacara dan Selamatan Nyewu Dina
Diadakan pada hari yang ke seribu setelah wafatnya mendiang menurut perhitungan masyarakat Jawa. Ini adalah upacara dan selamatan yang terakhir, biasanya diadakan pembacaan kitab suci Al Qur’an dan acara Tahlillan. Sesajian yang disiapkan sama dengan sesajian pada selamatan Matang Puluh Dina, hanya ditambah sate dan krecek.
Upacara ini disertai pula pelepasan sepasang burung merpati yang di lehernya dikalungi bunga setelah acara tahlillan memiliki makna bahwa burung yang dilepas itu merupakan kendaraan roh pada wakyu menuju syurga. Perlengkapan lai yang harus ada adalah tikar bangku dari anyaman daun pandan, lampu jedog, empluk, sisir, suri, kaca kecil, kapas, kemenyan, dua sisir pisang raja, gula kelapa, sebutir buah kelapa, satu takir beras, sirih dan perlengkapan lainya.
7) Kol
Upacara ini diadakan setelah selamatan Nyewu Dina di sebut selamatan kol yang bertepatan dengan hari Pasaran yaitu hari kematian dan bulan kematian mendiang. Misalnya si A meninggal pada hari Rabu Pon bulan Ruwah, maka selamatan yang dilakukan pada bulan dan tanggal yang sama pada tahun berikutnya.
Sajian yang disediakan berupa ketan, kolak, apem, dan pisang
raja. Dapat pula ditambah denmgan nasi asahan dan nasi wuduk. Maksud dari
selamatan ini adalah agar roh mendiang memperoleh jalan yang terang dan
diterima di Sisi Tuhan dan agar keluarga yang ditinggalkan mendapatkan
kebahagiaan.
5. Sopan Santun Pergaulan Kekerabatan
istilah-istilah kekerabatan untuk menyebut seseorang didalam kelompok kerabatnya adalah sebagai berikut.
a. Ego menyebut orang tua laki-laki denganBapa k atauRama.
b. Ego menyebut orang tua perempuan denganSimb ok atauBi yung.
c. Ego menyebut kakak laki-laki dengan Kamas, Mas, Kakang Mas, akang, Kang.
d. Ego menyebut kakak perempuan dengan Mbak Yu,Mbak,Y u.
e. Ego menyebut adik laki-laki dengan Adhi, Dhimas, Dik,L e.
f. Ego menyebut adik perempuan dengan Adhi, Dhi Ajeng,Ndhuk, Dhenok.
g. Ego menyebut kakak laki-laki dari ayah atau Ibu dengan Pak Dhe, Siwa, Uwa.
h. Ego menyebut kakak perempuan dari Ayah atau Ibu denganBu Dhe, Mbok Dhe, Siwa.
i. Ego menyebut adik Laki-laki dari Ayah atau Ibu denganPaman, Pak Lik, Pak Cilik.
j. Ego menyebut adik Perempuan dari Ayah atau Ibu denganBibi, Buklik, Ibu Cilik, Mbok Cilik.
k. Ego menyebut orang tua Ayah atau Ibu baik Laki-laki maupun Perempuan dengan Eyang, Mbah, Simbah, Kakek, Pak Tua. Sebaliknya Ego akan disebutPut u.
l. Ego menyebut orang tua Laki-laki/ Perempuan dua tingkat diatas Ayah dan Ibu Ego dengan Mbah Buyut. Sebaliknya Ego akan disebut dengan Putu Buyut, Buyut.
m. Ego menyebut orang tua laki-laki/perempuan tiga tingkat diatas Ayah dan Ibu Ego dengan Mbah Canggah, Simbah Canggah, Eyang Canggah. Sebaliknya Ego akan disebut Putu Canggah, Canggah.
5. Sopan Santun Pergaulan Kekerabatan
istilah-istilah kekerabatan untuk menyebut seseorang didalam kelompok kerabatnya adalah sebagai berikut.
a. Ego menyebut orang tua laki-laki denganBapa k atauRama.
b. Ego menyebut orang tua perempuan denganSimb ok atauBi yung.
c. Ego menyebut kakak laki-laki dengan Kamas, Mas, Kakang Mas, akang, Kang.
d. Ego menyebut kakak perempuan dengan Mbak Yu,Mbak,Y u.
e. Ego menyebut adik laki-laki dengan Adhi, Dhimas, Dik,L e.
f. Ego menyebut adik perempuan dengan Adhi, Dhi Ajeng,Ndhuk, Dhenok.
g. Ego menyebut kakak laki-laki dari ayah atau Ibu dengan Pak Dhe, Siwa, Uwa.
h. Ego menyebut kakak perempuan dari Ayah atau Ibu denganBu Dhe, Mbok Dhe, Siwa.
i. Ego menyebut adik Laki-laki dari Ayah atau Ibu denganPaman, Pak Lik, Pak Cilik.
j. Ego menyebut adik Perempuan dari Ayah atau Ibu denganBibi, Buklik, Ibu Cilik, Mbok Cilik.
k. Ego menyebut orang tua Ayah atau Ibu baik Laki-laki maupun Perempuan dengan Eyang, Mbah, Simbah, Kakek, Pak Tua. Sebaliknya Ego akan disebutPut u.
l. Ego menyebut orang tua Laki-laki/ Perempuan dua tingkat diatas Ayah dan Ibu Ego dengan Mbah Buyut. Sebaliknya Ego akan disebut dengan Putu Buyut, Buyut.
m. Ego menyebut orang tua laki-laki/perempuan tiga tingkat diatas Ayah dan Ibu Ego dengan Mbah Canggah, Simbah Canggah, Eyang Canggah. Sebaliknya Ego akan disebut Putu Canggah, Canggah.
SISTEM KEMASYARAKATAN
1. Bentuk kesatuan hidup setempat
Di budaya jawa desa atau kelurahan merupakan bentuk kesatuan hidup yang terkecil, yang di dalam ilmu anropologi disebut dengan istilah komuniti (community). Desa merupakan bentuk komuniti ini, adalah persekutuan hukum, sebab terdiri dari suatu golongan manusia yang memunyai tata susunan tetap, mempunyai pengurus, mempunyai wilayah dan mempunyai harta benda yang kesemuanya itu bisa bertindak sebagai kesatuan terhadapadunia luar dan tidak mungkin bisa dibubarkan.
2. Pimpinan dalam desa (komuniti)
Mengnai pimpinan yang tertinggi di desa adalah lurah sebagai kepala desa. Dalam menjalankan tugasnya, lurah dibantu oleh pengurus desa yang disebut perabot desa yang terdiri dari kepala bagian umum, kepala bagian sosial, kepala bagian agama, kepala bagian keamanan, kepala bagian kemakmuran, dan sebagai wakil lurah untuk mengawasi wilayahnya adalah dukuh. Disamping itu ada satu badan tertentu yang khusus bergerak di bidang sosial, yang tugasnya membantu tugas para perabot desa, yaitu lembaga sosial desa (L.S.D)
Untuk lebih konkretnya kita akan melihat masing kepala bagian. Di bawah ini tugas-tugas mereka:
1) Kepala desa (lurah) bertugas:
a. Sebagai pemimpin kepala-kepala bagian
b. Merencanakan program kerja
c. Memberi tanda tangan untuk surat-surat yang keluar.
d. Bertanggung jawab atas penggunaan kas desa.
e. Mengusut perkara.
f. Menjalankan tugas lain yang tidak termasuk dlam tugas kepala-kepala bagian.
2) Kepala bagian sosial
a. Mewakili lurah jika berhalangan.
b. Menagaini urusan-urusan sosial.
c. Mengurusi tentang pendidikan dan pengajuaran.
d. Mengerjakan urusan kesehatan.
e. Mengurusi tentang kependudukan.
3) Kepala bagian umum bertugas:
a. Menagani agenda-agenda umum.
b. Mengerjakan administrasi tanah.
c. Mengurus perlengkapan alat-alat kantor
d. Menyelenggarakan rapat-rapat.
e. Mengerjakan administrasi keuangan.
f. Mengurus pembangunan desa.
4) Kepala bagian kemakmuran bertugas:
a. Menangani urusan pengairan .
b. Mengurusi urusan pertanian.
c. Mengurusi urusan peternakan/perikanan.
d. Mengurusi urusan perekonomian/perdagangan.
e. Mengurusi urusan jual beli.
5) Kepala bagian keamanan bertugas:
a. Menangani urusan keamananan.
b. Menangani urusan organisasi.
c. Menangani urusan surat-surat keterangan.
d. Membantu lurah untuk mengusut perkara.
6) Kepala bagian agama bertugas:
a. Pembinaan mental/agama.
b. Urusan tempat peribadatan.
c. Urusan kematian.
d. Urusan perkawinan dan perceraian.
Tugas kepala dukuh adalah membantu tugas lurah antara lain menyampaikan perintah lurah kepada masyarakat mengenai segala hal dan kadang-kadang menyampaikan usul rakyat kepada kelurahan.
Disamping itu tugas dukuh adalah mengatur keamanan wilayahnya. Pekerjaan ini meliputi pembagian tugas ronda. Tugas yang lain adalah bila ada orang kawin dukuh harus melaporkan kepadaurusan agama kelurahan. Begitu pula kalau ada perceraian, dan lain sebagainya arti kata lain tugas dari pada dukuh adalah hampir meliputi tugas-tugas yang dibebankan kepada-kepada bagian di atas.
Selain
pamong desa (prabot desa) di setiap kelurahan dibentuk suatu lembaga yang
bergerak di bidang sosial, yaitu lembaga sosial desa (L.S.D). lembaga sosial
ini adalah suatu organisasi atau badan yang pengurusnya terdiri dari orang atau
penduduk desa setempat yang dipandng cakap. sebab tugas L.S.D ini adalah
membantu pamong di dalam melaksanakan pembangnan desa baik fisik maupun mental.
Lurah dan semua staf kelurahan (pamong/prabot desa) mengadakan pertemuan (rapat) sekali di dalam satu minggu.dalam rapat itu biasanya dibicarakan segala sesuatu perintah yang datangnya dari atasan (kecamatan, kabupaten, dan lain sebagainya) dan segala sesuatu yang datang dari rakyat setempat, misalnya bagaimana caranya menarik iuran, pajak-pajak, melaksanakan gotong royong untuk melaksanakan pembangunan dan lain sebagainya. Disamping dalam rapat itu pamong biasanya memberikan laporan kerja yang mereka lakukan selama itu.
Jabatan lurah dan pamong desa yang lainnya diperoleh dengan cara pemilihan rakyat (demokrasi). Apabila seseorang dipilih menjadi kepala desa, ia akan menjabat tugas itu selama masih dipercaya oleh rakyat yang dipimpinnnya, disamping masih memenuhi syarat-syarat untuk seorang kepala desa, hal seperti ini berlaku pula bagi pamong yang lain.
Jabatan kepala desa ini dapat turun temurun, artinya apabila seorang lurah itu meninggal maka ia dapat digantikan oleh anaknya yang laki-laki. Tetapi apabila lurah tidak mempunyai anak laki-laki, maka pemerintaha dapat menunjuk orang lain sebagai lurah, asal sajamemenuhi syarat yang sudah ditentukan. Begitu pula jabatan bekel jajar, dapat naik menjadi bekel sepupuh (bekl +wakil lurah). Nakan tetapi pada saat sekarang jabatan lurah diproese melalu pemilihan yang dilakukan olah rakyat atau penduduk setempat. Orang yang menjabat sebagai pamong desa ini pada umumnya tidak mendapat gaji atau upah dari pemerintaah. Akan tetapi sebagai pengganti gajih yang dimaksud mereka mendapat bengkok atau tanah pelungguh yaitu tanah yang dibagikan kepada mereka selama mereka memenggang jabatan sebagai pamong desa. Bengkok dapat berujud sawah atau juga tanah tegalan. Di samping tanah benkok, ada juga tanah yang disebut tanah pengarem-arem. Tanah ini merupakan tanah yang diberikan kepada mereka-mereka yang dulunya pernah menjabat perabot desa di desanya; atau tanah ini boleh disebutkan sebagai tanah pensiun mereka.
Disamping lurah dan perabot desa lainnya, kadang-kadang di suatu desa terdapat juga pimpinan yang tidak resmi, artinya pimpinan yang tidak diangkat oleh pemerintah. Pimpinan seperti ini biasanya disebut juga pimpinan informal (tidak resmi). Pimpinan ini biasanya berpengaruh pada lingkungan rakyat Yang terbatas saja. Biasanya pimpinan seperti ini adalah orang-orang di desa itu yang sudah lanjut usianya sehingga dapat dimasukkan ke dalam katagori pinisepuh dan juga orang-orang yang dianggap mempunyai kharisma seperti misalnya dukun dan lain sebagainya.
Lurah dan semua staf kelurahan (pamong/prabot desa) mengadakan pertemuan (rapat) sekali di dalam satu minggu.dalam rapat itu biasanya dibicarakan segala sesuatu perintah yang datangnya dari atasan (kecamatan, kabupaten, dan lain sebagainya) dan segala sesuatu yang datang dari rakyat setempat, misalnya bagaimana caranya menarik iuran, pajak-pajak, melaksanakan gotong royong untuk melaksanakan pembangunan dan lain sebagainya. Disamping dalam rapat itu pamong biasanya memberikan laporan kerja yang mereka lakukan selama itu.
Jabatan lurah dan pamong desa yang lainnya diperoleh dengan cara pemilihan rakyat (demokrasi). Apabila seseorang dipilih menjadi kepala desa, ia akan menjabat tugas itu selama masih dipercaya oleh rakyat yang dipimpinnnya, disamping masih memenuhi syarat-syarat untuk seorang kepala desa, hal seperti ini berlaku pula bagi pamong yang lain.
Jabatan kepala desa ini dapat turun temurun, artinya apabila seorang lurah itu meninggal maka ia dapat digantikan oleh anaknya yang laki-laki. Tetapi apabila lurah tidak mempunyai anak laki-laki, maka pemerintaha dapat menunjuk orang lain sebagai lurah, asal sajamemenuhi syarat yang sudah ditentukan. Begitu pula jabatan bekel jajar, dapat naik menjadi bekel sepupuh (bekl +wakil lurah). Nakan tetapi pada saat sekarang jabatan lurah diproese melalu pemilihan yang dilakukan olah rakyat atau penduduk setempat. Orang yang menjabat sebagai pamong desa ini pada umumnya tidak mendapat gaji atau upah dari pemerintaah. Akan tetapi sebagai pengganti gajih yang dimaksud mereka mendapat bengkok atau tanah pelungguh yaitu tanah yang dibagikan kepada mereka selama mereka memenggang jabatan sebagai pamong desa. Bengkok dapat berujud sawah atau juga tanah tegalan. Di samping tanah benkok, ada juga tanah yang disebut tanah pengarem-arem. Tanah ini merupakan tanah yang diberikan kepada mereka-mereka yang dulunya pernah menjabat perabot desa di desanya; atau tanah ini boleh disebutkan sebagai tanah pensiun mereka.
Disamping lurah dan perabot desa lainnya, kadang-kadang di suatu desa terdapat juga pimpinan yang tidak resmi, artinya pimpinan yang tidak diangkat oleh pemerintah. Pimpinan seperti ini biasanya disebut juga pimpinan informal (tidak resmi). Pimpinan ini biasanya berpengaruh pada lingkungan rakyat Yang terbatas saja. Biasanya pimpinan seperti ini adalah orang-orang di desa itu yang sudah lanjut usianya sehingga dapat dimasukkan ke dalam katagori pinisepuh dan juga orang-orang yang dianggap mempunyai kharisma seperti misalnya dukun dan lain sebagainya.
3. Hubungan
sosial dalam kesatuan hidup seetempat
Hubungan antar warga sedesa di masyarakat sangat erta, bahkan lebih dari seolah-olah mereka merasakan adnya ikatan batin atau persaudaraan di antara mereka. Mereka satu sama lain saling mengenal dengan demikian boleh dikatakan bahwa sifat saling mengenal dengan demkian boleh dikatakan bahwa sifat hubungan yang terjadi diantara warga desa adalah face to face.
Hubungan sosial yang berupa gotong royong ini, nampak jelas bila kita lihat peristiwa pristiwa smbang menyumbang, adanya yang terjadi bila seseorang mengadakan hajat perkawinan. Disini para tetangga datang untuk menyumbang, ada yang berupa bahan makanan ada pula yang berwujud uang dan lain sebagainya. Peristiwa seperti ini hampir terdapat semua di masuyarakat baik di desa maupun di masyarakat abaik di desa maupun di petokoan. Selain hubungan sumbang menyumbang seperti di atas, hubungan sosial yang terjadi di dalam masyarakat pedesaan ini dapat pula kita lihat melalui aktivitas gotong royong yang disebut sambatan. Dalam kerja sambatan seperti ini biasanya hanya terjadi bila ada seseorang yang akan mendirikan rumah atau juga bila seseorang akan memngerjakan sawah ladangnya. Upah dalam hal ini tidak ada, hanya orag berkepentingan menyediakan makan minum sesuai dengan kemampuannya. Sebagai upah yang lain, kelak bila ada yang juga mempunyai hajat untuk mengerjakan rmah, sawah ladangnya, mereka harus ikut membantunya . oleh sebab itu kerja gotong royong yang terlukis seperti tersebut di atas adalah dapat kita katakan bahwa hal ini terjadi karena adanya perasaaan saling ketergantungan antara warga yang satu dengan warga yang lainnya dan adanya harapan akan adanya balas jasa dari orang yang disumbang dikelak kemudian hari.
4. Perkumpulan Berdasarkan Adat
Perkumpulan yang berdasarkan adat di jawa disebut dengan sinoman. Kata sinoman ini berasal dari kata anom yang artinya orang muda. Selanjutnya sinoman ini digunakan untuk nama perkumpulan pemuda pemudi. Perkumpulan tersebut hanya terdapat di jawa tengah saja. Di beberapa daerah di indonesia lainnya juga terdapat perkumpulan yang sejenis, misalnya di bali dengan nama seka taruna. Di lampung manganai, dan di ambon disebut nyong-nyong
Hubungan antar warga sedesa di masyarakat sangat erta, bahkan lebih dari seolah-olah mereka merasakan adnya ikatan batin atau persaudaraan di antara mereka. Mereka satu sama lain saling mengenal dengan demikian boleh dikatakan bahwa sifat saling mengenal dengan demkian boleh dikatakan bahwa sifat hubungan yang terjadi diantara warga desa adalah face to face.
Hubungan sosial yang berupa gotong royong ini, nampak jelas bila kita lihat peristiwa pristiwa smbang menyumbang, adanya yang terjadi bila seseorang mengadakan hajat perkawinan. Disini para tetangga datang untuk menyumbang, ada yang berupa bahan makanan ada pula yang berwujud uang dan lain sebagainya. Peristiwa seperti ini hampir terdapat semua di masuyarakat baik di desa maupun di masyarakat abaik di desa maupun di petokoan. Selain hubungan sumbang menyumbang seperti di atas, hubungan sosial yang terjadi di dalam masyarakat pedesaan ini dapat pula kita lihat melalui aktivitas gotong royong yang disebut sambatan. Dalam kerja sambatan seperti ini biasanya hanya terjadi bila ada seseorang yang akan mendirikan rumah atau juga bila seseorang akan memngerjakan sawah ladangnya. Upah dalam hal ini tidak ada, hanya orag berkepentingan menyediakan makan minum sesuai dengan kemampuannya. Sebagai upah yang lain, kelak bila ada yang juga mempunyai hajat untuk mengerjakan rmah, sawah ladangnya, mereka harus ikut membantunya . oleh sebab itu kerja gotong royong yang terlukis seperti tersebut di atas adalah dapat kita katakan bahwa hal ini terjadi karena adanya perasaaan saling ketergantungan antara warga yang satu dengan warga yang lainnya dan adanya harapan akan adanya balas jasa dari orang yang disumbang dikelak kemudian hari.
4. Perkumpulan Berdasarkan Adat
Perkumpulan yang berdasarkan adat di jawa disebut dengan sinoman. Kata sinoman ini berasal dari kata anom yang artinya orang muda. Selanjutnya sinoman ini digunakan untuk nama perkumpulan pemuda pemudi. Perkumpulan tersebut hanya terdapat di jawa tengah saja. Di beberapa daerah di indonesia lainnya juga terdapat perkumpulan yang sejenis, misalnya di bali dengan nama seka taruna. Di lampung manganai, dan di ambon disebut nyong-nyong
SISTEM
KEBUDAYAAN
Wujud cagar budaya yang masih dipergunakan sebagai tempat ibadah umat
Hindu Indonesia
DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fisik) maupun yang intangible (non fisik). Potensi budaya yang
tangible antara lain kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan
potensi budaya yang intangible seperti
gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial
yang ada dalam masyarakat.
DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar
di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban
tinggi masa lampau tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung
yang masih terlestari keberadaannya, merupakan embrio dan memberi spirit bagi
tumbuhnya dinamika masyarakat dalam berkehidupan kebudayaan terutama dalam
berseni budaya dan beradat tradisi. Selain itu, Provinsi DIY juga mempunyai
30 , yang dua di antaranya yaitu Museum Ullen Sentalu dan Museum
Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional.
Aspek Seni
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak sekali kesenian. Baik itu
kesenian budaya seperti tari-tarian ataupun seni kerajinan seperti batik, perak,
dan wayang.
1. Batik
Batik adalah salah satu kerajinan khas Indonesia terutama daerah
Yogyakarta. Batik yogya terkenal karena keindahannya, baik corak maupun
warnanya. Seni batik sudah ada diturunkan oleh nenek moyang, hingga saat ini
banyak sekali tempat-tempat khusus yang menjual batik ini. Perajin batik banyak
terdapat di daerah pasar ngasem dan sekitarnya.
Kata “batik” berasal dari gabungan dua kata : “amba”, yang bermakna
“menulis” dan “titik” yang bermakna “titik”.
Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu
batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik
pewarnaan dengan menggunakan untuk mencegah pewarnaan
sebagian dari kain. Dalam internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau
busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif
tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan ,
serta pengembangan dan budaya yang terkait, oleh telah
ditetapkan sebagai (Masterpieces of the Oral and
Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 oktober 2009.
2. Perak
2. Perak
Kerajinan perak di Yogyakarta terkenal karena kekhassannya. Kerajinan
ini berpusat di KotaGede, dimana hampir seluruh masyarakat di daerah ini
menjadi pengrajin dan penjual perak, banyak para wisatawan yang datang ke
tempat ini bila hendak membeli kerajinan perak.
3. Wayang
Seni wayang banyak terdapat di daerah jawa, khususnya jogjakarta, para
pengrajin maupun pendalang sudah diwariskan secara turun temurun. Pengarajin
wayang banyak terdapat di daerah pasar ngasem, bahan-bahan dari wayang ini
terbuat dari kulit sapi atau kerbau, sehingga tidak mudah rusak dan awet.
Wayang mudah di dapat juga di daerah sepanjang malioboro.
Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk atau gambar.
Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk atau gambar.
4. Tari Golek Menak Dari Yogyakarta
Tari Golek Menak merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta
yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Penciptaan tari Golek Menak
berawal dari ide sultan setelah menyaksikan pertunjukkan Wayang Golek Menak
yang dipentaskan oleh seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941. Disebut
juga Beksa Golek Menak, atau Beksan Menak. Mengandung arti menarikan wayang
Golek Menak. Karena sangat mencintai budaya Wayang Orang maka Sri Sultan
merencanakan ingin membuat suatu pagelaran yaitu menampilkan tarian wayang
orang. Untuk melaksanakan ide itu Sultan pada tahun 1941 memanggil para pakar
tari yang dipimpin oleh K.R.T. Purbaningrat, dibantu oleh K.R.T.
Brongtodiningrat, Pangeran Suryobrongto, K.R.T. Madukusumo, K.R.T. Wiradipraja,
K.R.T.Mertodipuro, RW Hendramardawa, RB Kuswaraga dan RW Larassumbaga.